Berita

  • Home
  • Berita Detail

Cegah Stunting dan Wasting dengan MPASI yang Adekuat

  • Hukormas
  • 12/10/2021

 

Cegah Stunting dan Wasting dengan MPASI yang Adekuat

Narasumber; Rosalina, AMK (RSMH Palembang)

 

Menurut UNICEF (2020), terdapat 30.8% anak Indonesia yang berusia di bawah 5 tahun mengalami stunting, dan 10.2% mengalami wasting. Hal tersebut menempatkan Indonesia menjadi negara dengan peringkat 5 kasus stunting terbanyak di dunia, dan peringkat 4 kasus wasting terbanyak di dunia. Stunting adalah kondisi dimana tinggi balita kurang dari tinggi normal pada usianya (terlalu pendek). Sedangkan wasting adalah kondisi dimana berat badan balita tidak sesuai dengan tinggi badannya (terlalu kurus). Secara teori, stunting diindikasikan dengan ukuran tinggi terhadap umur pada balita yang menempati kurang dari minus dua standar deviasi pada kurva WHO, sedangkan wasting terlihat dari ukuran berat badan terhadap tinggi badan pada balita yang menempati kurang dari minus dua standar deviasi pada kurva WHO.

 

Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis yang memiliki dampak jangka panjang seperti terhambatnya pertumbuhan, penurunan kemampuan kognitif dan mental, serta kerentanan terhadap penyakit. Wasting terjadi akibat kekurangan gizi akut dan sering sakit, selain itu wasting juga secara signifikan meningkatkan risiko kematian anak. Salah satu penyebab stunting dan wasting adalah pemberian makan yang tidak adekuat dan tidak mencukupi nutrisi yang diperlukan. ( UNICEF, 2020)

 

Untuk menghindari stunting dan wasting diperlukan MPASI yang adekuat, dan nutrisi yang tepat. MPASI perlu diberikan kepada bayi karena sejak usia 6 bulan ASI sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi maupun nutrisi. MPASI yang diberikan harus adekuat yaitu mengandung zat gizi yang lengkap dan seimbang, dapat memenuhi kebutuhan zat gizi makro seperti karbohidrat, lemak, protein, serta zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. (dr. Meta Hanindita, 2020). Selain itu, MPASI yang adekuat juga harus tepat secara frekuensi (jumlah makan dalam satu hari), tekstur (tidak terlalu encer), jumlah kalori/energi, serta dilakukan dengan proses memasak yang bersih. (dr. Ratih Ayu Wulandari, 2020).

 

Menurut WHO (2009), ada celah kalori atau energi yang tidak didapatkan bayi dari ASI sehingga MPASI harus mampu menutupi celah tersebut. Kebutuhan kalori berdasarkan usia diperlihatkan pada Gambar 1. WHO (2009) juga menunjukkan celah makanan yang diperlukan oleh bayi pada usia 12-23 bulan, diperlihatkan pada Gambar 2.

 

 

Dari Gambar 1 terlihat ada celah energi yang perlu diisi dengan MPASI sehingga kebutuhan bayi tercukupi. Pada Gambar 2 menunjukkan kandungan makanan apa saja yang harus diisi oleh MPASI. Dari Gambar 2 terlihat celah terbesar adalah zat besi, artinya bayi lebih membutuhkan makanan yang mengandung zat besi dengan porsi yang lebih banyak dibandingkan vitamin karena sebagian besar kebutuhan
vitamin masih tercukupi oleh ASI. (dr. Ratih Ayu Wulandari, 2020)

 

 

 

 

Makanan yang banyak mengandung zat besi adalah protein, baik hewani maupun nabati. Sehingga sedari awal memulai MPASI, bayi perlu memakan lauk pauk seperti ikan, ayam, telur, daging, tahu, tempe, dan sebagainya. Namun di Indonesia masih banyak pemberian awal MPASI dengan buah dan sayur seperti pisang, apel, brokoli, dan sebagainya. Padahal bayi tidak memerlukan nutrisi buah dan sayur dalam jumlah besar. Hal ini bisa mengakibatkan berat badan bayi tidak naik dengan baik dan bayi menjadi kurus. (dr. Ratih Ayu Wulandari, 2020)

MPASI yang adekuat harus mengandung karbohidrat (35-60% dari kalori yang dibutuhkan[1]), protein (10-15% dari kalori yang dibutuhkan), lemak (30-45% dari kalori yang dibutuhkan), Sayur dan buah. Penyerapan zat gizi pada bayi bisa terhambat apabila bayi mengkonsumsi terlalu banyak sayur dan buah karena mengandung banyak serat. Sehingga pada MPASI, sayur dan buah hanya bersifat perkenalan dengan jumlah yang tidak banyak sebagai contoh sayuran wortel diberikan satu setengah sendok makan untuk bayi 6-23 bulan, sayuran hijau gelap setengah cangkir untuk bayi 6-23 bulan.

Di Indonesia banyak bubur fortifikasi kemasan yang dijual, pada bubur fortifikasi tersebut sebenarnya sudah ditambahkan zat besi, kalsium, dan zinc (zat gizi mikro yang sering dianggap kurang dari kebutuhan menurut WHO) untuk memenuhi kebutuhan zat gizi bayi. Namun menurut dr. Ratih (2020) yang merujuk pada penelitian Mechelle Gibs tahun 2011, dari penelitian terhadap 5 negara di Asia dan Afrika termasuk Indonesia diperiksa 57 kemasan bubur fortifikasi dan ternyata bubur tersebut mengandung asam fitat yang berpotensi mengganggu penyerapan mineral zat besi, kalsium, dan zinc. Sehingga bubur fortifikasi harus digunakan secara bijak dan tidak bisa digunakan untuk makan dalam satu hari penuh karena tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan gizi bayi. (dr. Ratih Ayu Wulandari, 2020)

 

Dengan begitu pencegahan stunting dan wasting yang tepat salah satunya dapat dilakukan dengan pemberian MPASI adekuat yang mampu memenuhi zat gizi makro maupun mikro, dan tepat secara frekuensi, tekstur, jumlah kalori/energi, serta dilakukan dengan proses memasak yang bersih. Sayur dan buah pada MPASI hanya bersifat perkenalan dengan jumlah yang tidak banyak. Kemudian, pemberian bubur fortifikasi diperbolehkan namun harus dilakukan dengan bijak karena bubur fortifikasi tersebut tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan gizi pada bayi.

 

( Doc Hukormas)

 

DAFTAR PUSTAKA

1.    Ayu Wulandari, Ratih. 2020. Kumpulan Resep Kelas Bayi Nyam-Nyam: Panduan Pemberian MP-ASI Sejak Hari Pertama Bayi Makan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

2.    Hanindita, Meta. 2020. Mommyclopedia, 78 Resep MPASI. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

3.    Unicef. 2020. The State of Children in Indonesiahttps://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2020-06/The-State-of-Children-in-Indonesia-2020.pdf , diakses pada 27 Maret 2021 pukul 20:36.

4.    World Health Organization. 2009. Infant and young child feedinghttps://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/44117/9789241597494_eng.pdf;jsessionid=E508AAE9843D037D9F74C404D3759147?sequence=1 , diakses pada 27 Maret 2021 pukul 20:36.

5.    World Health Organization. 2010. Nutrition Landscape Information System (NLIS): Country Profile Indicators - Interpretation Guide, https://www.who.int/nutrition/nlis_interpretation_guide.pdf , diakses pada 27 Maret 2021 pukul 20:36.